RSS

MMSPH 8: Lily & Tiga Pria Itu oleh Darwis Tere Liye



Adakah yang pernah mengatakan kepada kalian, waktu itu adalah lingkaran nasib yang berputar tanpa henti? Siang-malam, pagi-petang, sepanjang tahun tak pernah rehat. Dalam setiap kesempatan putaran nasibnya selalu terjadi tiga kemungkinan. Paralel, bergerak serentak. Jikalah waktu bisa dimampatkan menjadi benda padat, lantas diletakkan di atas lintasan sirkular, maka kalian bisa menyaksikannya laksana tiga ekor kuda pacuan yang membelah sirkuit. Kencang memedihkan mata, berputar-putar tanpa henti jutaan lap.

Masalahnya selama ini kita tidak pernah terlalu peduli soal rentetan detik dan menit, kecuali menyangkut tentang kapan makan siang, kapan masuk kerja, kapan pulang kerja, kapan gajian tiba, dan kapan hari-hari libur. Kebanyakan dari kita lebih peduli tentang yang satu itu: nasib.


Celakanya seperti waktu, tidak satu pun di antara kita yang tahu persis apa hakikat nasib sebenarnya. Relativitas nasib sudah diterjemahkan dengan maju oleh manusia di seluruh muka bumi melalui ukuran tertentu, yang sayang sekali ukuran tersebut mutlak berasal dari kesepakatan mereka. Kesepakatan yang berani dan ceroboh sekali.

Bagaimana kalian tahu seseorang yang baru dipecat dari kantornya, lantas kehilangan mobil, sekaligus diceraikan istrinya berarti ia sedang bernasib sial? Itu hanya soal stigma masyarakat. Bagaimana pula kalian bisa menyimpulkan seseorang yang mendapatkan pekerjaan baru, gaji tinggi dan prospek karier hebat berarti ia sedang bernasib baik? Itu lebih karena kalian mempercayai dogma yang ada di lingkungan sekitar kalian.

Jika kalian belum paham juga, baiklah, mari kita simak kisah nyata satu ini. Cerita yang secara turuntemurun disampaikan oleh seseorang yang berusaha mati-matian memahami hakekat waktu dan nasib. Tidak. Hingga akhir cerita, kalian akan tahu ia juga tidak tahu persis makna waktu dan nasib sesungguhnya. Tetapi yang pasti ia memiliki pemahaman yang berbeda sekali dengan kesepakatan kalian selama ini, dan itu berharga untuk diceritakan.

***

Berpuluh-puluh tahun silam, di salah satu kota terindah di dunia. Kota itu indah karena menjadi titik pertemuan berjuta-juta nasib, sekaligus menjadi tempat perpisahan berjuta-juta nasib pula. Kota itu indah karena nasib-nasib itu selalu berputar-putar sepanjang masa: bertemu-berpisah, berpisah-bertemu lagi. Di pagi yang cerah musim gugur. Jam besar di jantung taman kota berdentang sembilan kali. Burungburung merpati berterbangan, selalu kaget dengan suara itu padahal sudah beratus-ratus tahun jam itu selalu mengeluarkan suaranya yang keras dan berwibawa. Dedaunan berjatuhan, berserakan menguning mengombak jalan setapak, rumput-rumput terpangkas rapi, meja-meja dan kursi-kursi taman. Anak-anak kecil berlari suka cita menyibak bebungaan, pasangan muda mendorong kereta bayinya, bergurau menikmati pagi. Orang-orang tua duduk melepas lelah, tersenyum lebar membuka surat-surat yang mengabarkan cucu-cucu mereka. Jikalau aku bisa membekukan waktu, sungguh menggetarkan pandangan sepagi itu. Mereka bergembira seolah besok tak ada menit yang tersisa.

Sementara itu, di pojok salah satu kafe yang terletak persis di tengah taman, seorang gadis cantik duduk begitu takzimnya. Rambut pirangnya menjuntai memperelok mata biru, hidung mancung, dan pipi berlesung pipit. Riasan tipis wajahnya cukup sudah membuat pria yang berlalu lalang di depan kafe meliriknya, mati tersandung cinta.

Dan seperti yang kalian lihat pagi itu, di meja-meja kafe yang kosong di sekitarnya, sudah terdapat tiga mayat pria gagah duduk berpura-pura. Pura-pura membaca koran, tapi mata tak henti melirik seperti seekor elang. Pura-pura menyeruput teh panas, tapi mulut tak henti mendesahkan namanya. Pura-pura mengikat tali sepatu, tapi jantung sedang mengikat segenap kekuatan untuk sekadar berani menyapa.

Jam besar itu berdentang sepuluh kali. Burungburung merpati sekali lagi rusuh berterbangan ke angkasa. Seorang anak yang sedang menyebarkan remah-remah roti terperanjat melihat ratusan kepakan sayap serentak. Ketakutan. Menangis berlari memeluk kaki ibunya. Ayahnya yang berdiri di belakang tertawatawa melihat kelakuannya, lupa ia dulu menangis lebih kencang dan lebih lama.

Seorang tukang sapu yang sedang membersihkan petak-petak taman mengomel karena beberapa anak bermain-main menghamburkan kulit wortel. Sedangkan seorang pemuda di balik bunga bougenville merah, malu-malu mencium pipi gadisnya, tidak tahu dan tidak peduli sepuluh kilometer darinya, kedua orang tua gadis itu tengah berbincang serius di rumah megah mereka: berbincang soal perjodohan anaknya bulan depan dengan putra sulung walikota.

Bagaimana dengan gadis cantik kita yang sedang duduk menikmati pagi di kafe di tengah taman kota? Tidak. Belum ada satu pun yang berubah di sana. Juga dengan tiga pria pura-pura di sekitarnya.

Jam besar itu berdentang sebelas kali. Burungburung merpati sekali lagi kaget terbang kesana-kemari. Dan seperti yang kukatakan sebelumnya, saat itulah kalian menyaksikan tiga putaran nasib yang luar biasa itu dalam satu hentakan. Ketiga-tiganya melesat serentak bagai anak panah. Paralel. Tiga nasib pria yang sedang duduk pura-pura itu.

Amat memedihkan mata menyaksikan kecepatan tiga anak panah tersebut. Tetapi karena tentu saja kita tidak bisa menuliskan tiga kejadian secara serentak secara tertulis, kecuali kalian sedang mendengarkan tiga orang yang bercerita sekaligus, maka kejadian itu terpaksa di ceritakan satu persatu.

Pria pertama yang memakai tuksedo hitam sehitam rambut lebatnya. Pria paling kaya dan paling berpendidikan di antara mereka, meskipun sayang semua fakta itu tidak disadarinya, pelahan-lahan berdiri dari duduknya. Gemetar melangkahkan kaki, ia mendekati meja gadis itu. Sekuntum mawar biru
merekah indah di tangannya, dua ekor kupu-kupu hinggap dan terbang di sekelilingnya.

Pria itu amat kacau menyatakan cintanya. Terburuburu, tanpa basa-basi, apalagi mengenalkan diri. Ia mengulurkan bunga mawar biru itu, menatap penuh perasaan, dan bibirnya bergetar menyajak puisi-puisi. Dan kalian bisa menduga apa yang terjadi selanjutnya. Gadis itu terkejut dari ketakzimannya, memandang takut-takut dan tak mengerti.

Pria itu memaksa memegang tangan si gadis, gadis itu mengibaskannya kuat-kuat. Serak ia berteriak. Tidak. Ia bukan sekadar menolak mentah-mentah cinta pria itu, tapi juga mempermalukannya dengan memanggil penjaga taman dan anjing herdernya. Terhina, pria pertama terlempar jauh dari nasib yang diinginkannya. Hari-hari berikut kehidupannya menjadi amat gelap. Dua puluh tahun kemudian ketika putaran nasib kembali mencapai siklusnya di kota ini, beruntung kita bisa melihat ujung ceritanya kelak.

Disaat bersamaan ketika pria pertama bangkit dari kursinya, pria kedua yang memakai jas biru gelap duduk di sebelahnya juga bangkit dari purapuranya. Sebuah sapu tangan putih terlipat rapi terselip di kantong jasnya, rambut berminyak disisir sangat menawan. Ia parlente dan amat wangi. Di tangannya, seperti pria pertama, juga tergenggam seikat bunga: sekuntum bunga seroja.

Pria itu tersenyum, menyapa hangat gadis berambut pirang. Mengajaknya berkenalan, lantas bercerita tentang pekerjaan. Pekerjaaanya sebagai broker saham dan pekerjaan gadis itu sebagai guru bahasa. Mereka tertawa bersama, saling memegang tangan, berdegup kencang jantung masing-masing, dan gemetar saling mengatakan cinta.

Mereka meninggalkan kafe itu tepat pukul dua belas. Berjanji bertemu esok harinya, hari-hari berikutnya dan hari-hari seterusnya. Hingga di pagi hari yang ke seratus, entah apa sebabnya keduanya bertengkar hebat di kafe itu. Sang gadis cantik tersedu-sedu menutup mukanya, berlari meninggalkan pria kedua kita.

Hari itu mereka putus hubungan. Dengan kesedihan mendalam pria kedua juga terlempar jauh dari nasib yang diinginkannya. Hari-hari berikut kehidupannya menjadi sangat gelap. Dua puluh tahun kemudian ketika putaran nasib kembali mencapai siklusnya di kota ini, baik sekali kita berkesempatan melihat ujung kisahnya kelak.

Pria ketiga, disaat bersamaan pria pertama dan pria kedua bangkit dari duduknya, juga berdiri dari kursinya. Ia menepuk celananya yang terkena ampas putih bawah meja, merapikan kerah kemeja merah, menyisir rambut hitam panjang dengan belahan jari. Lelaki ini amat gagah, matanya tajam, lengannya kokoh berbentuk, dan siluet badannya amat mengundang. Saat ia melangkah, seperti ada seribu lebah mendengung mengikutinya, membuat kalian sedikit pun tak bisa berpaling melihatnya. Di genggaman tangannya, seperti dua pria lainnya, entah darimana asalnya sekuntum bunga mekar dengan indahnya: sayangnya aku tidak tahu itu bunga apa.

Ia menyapa santun gadis cantik berambut pirang itu. Tersenyum hangat memamerkan putih deretan giginya. Bersalaman penuh penghormatan, membuat gadis itu seketika merasa menemukan tempat berlindung sejatinya. Mereka berbicara soal kegemaran masingmasing. Yang pria suka berburu yang wanita suka memasak, cocok sudah, suatu saat wanita pirang itu bisa memasak hasil buruan pria tersebut.

Tepat jam dua belas siang mereka berdua meninggalkan taman itu, berjanji untuk bertemu esok harinya, esok harinya, dan hari-hari selanjutnya hingga mereka bersepakat untuk menikah. Pernikahan itu dilangsungkan tepat ketika pria kedua putus cinta dengan wanita cantik berlesung pipit itu. Hari-hari berikut kehidupannya aku tidak tahu persis seperti apa.

Yang pasti dua puluh tahun kemudian ketika putaran nasib itu kembali mencapai siklusnya di kota ini, beruntung kita bisa melihat ujung ceritanya kelak.

***

Di pagi yang cerah musim gugur. Jam besar di tengah taman kota berdentang sembilan kali. Burungburung merpati berterbangan, selalu kaget dengan suara itu padahal sudah beratus-ratus tahun jam itu selalu mengeluarkan suaranya yang keras dan berwibawa. Dedaunan berjatuhan, berserakan menguning mengombak jalan setapak, rumput-rumput terpangkas rapi, meja-meja dan kursi-kursi taman.

Anak-anak kecil berlari suka cita menyibak bebungaan, pasangan muda mendorong kereta bayinya, bergurau menikmati pagi. Orang-orang tua duduk melepas lelah, tersenyum lebar membuka surat-surat yang mengabarkan cucu-cucu mereka. Jikalau aku bisa membekukan waktu, sungguh menggetarkan pandangan sepagi itu. Mereka bergembira seolah besok tak ada waktu yang tersisa.

Sementara itu, di pojok salah satu kafe yang terletak persis di tengah taman. Tidak. Hari ini di sana tidak ada seorang gadis cantik yang duduk begitu takzimnya dua puluh tahun silam. Waktu telah memutus kehidupannya di muka bumi ini. Ia telah meninggal lima belas tahun lalu. Yang ada di sana hanya tiga pria itu, yang masing-masing duduk persis di kursi dan mejanya dua puluh tahun silam. Anehnya tidak ada tuksedo hitam, tidak ada jas biru langit, atau kemeja berwarna merah. Mereka semua hari ini mengenakan seragam tak berbeda. Di sekitar mereka berdiri beberapa perawat, juga berseragam serupa.

Pria yang duduk paling kanan memandang kosong langit bersih. Sejenak kemudian mukanya berubah merah merona, matanya penuh gairah cinta, berbisik menyamak puisi-puisi sambil mengangkat kedua tangannya. Menyenangkan sekali melihat kegembiraan diwajahnya. Tetapi tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu, meratap panjang dan mengeluh dalam.

Kemudian terdiam lagi memandang kosong langit bersih. Sejenak kemudian mukanya berubah merona merah lagi, matanya penuh gairah cinta lagi, berbisik menguntai puisi-puisi sambil mengangkat tangannya lagi, tiba-tiba menangis tersedu-sedu lagi, meratap dan mengeluh. Berulang-ulang seterusnya.

Tahukah kalian, ia adalah pria pertama kita dua puluh tahun lalu, yang cintanya ditolak mentah-mentah oleh gadis berambur pirang itu.

Pria di sebelahnya disaat bersamaan, paralel, mengepalkan tinju berkali-kali ke udara, memukulmukul kursi dan meja, juga meratap penuh penyesalan, lebih dalam dan amat memilukan. Berkali-kali pria itu ditenangkan oleh perawat. Tetapi percuma, karena sepanjang hari ia hanya bisa menangis, dan menangis, meratap menyalahkan diri.

Hanya lelah jatuh tertidurlah yang bisa menghentikan ratapannya. Dan saat ia terbangun kembali, seperti mobil yang di-starter ulang, ia akan menangis dan meratap lagi. Saat makan pun, satu sendok satu sesunggukan, saat minum pun, satu teguk satu ratapan, saat mandi pun, satu gayung satu sesalan. Begitulah, berulang-ulang sepanjang hari.

Tahukah kalian, ia adalah pria kedua kita, dua puluh tahun silam di tempat yang sama, waktu yang sama, patah hati dengan gadis itu.

Pria yang duduk paling kiri, sementara itu, saat ini sedang dipegangi kukuh oleh tiga perawat, ia dari tadi berusaha menghantam-hantamkan kepalanya ke meja, ke lantai kafe, kemana saja. Ia memaki siapa pun yang mendekatinya, menyumpah-serapah benda-benda yang berada di dekatnya.

Ia memang membenci semua orang, juga apapun yang ada di hadapannya. Baginya semua benda adalah perwujudan gadis itu, termasuk dirinya sendiri adalah perwujudan gadis itu, sehingga berkali-kali ia berusaha membunuh dirinya. Susah sekali tiga perawat itu meringkus pria itu, lantas beranjak memasukkannya ke dalam kerangkeng mobil rumah sakit jiwa.

Tahukah kalian, pria itu ternyata adalah pria ketiga kita, yang dua puluh tahun silam beruntung akhirnya bisa menikahi gadis bermata biru itu.

***

Tetapi yang tidak pernah kalian ketahui, juga oleh orang yang pertama-kali mendengar dan menyaksikan secara langsung kisah ini, apalagi oleh orang-orang yang secara turun-temurun berusaha menceritakan kegilaan ini dan berharap bisa mengerti hakikat waktu dan nasib, ternyata ada kenyataan lain yang tersembunyi: bahwa dalam satu kesempatan lingkaran nasib yang terus menerus berputar itu sebenarnya tidak hanya terdapat tiga kemungkinan.

Sesungguhnya ada empat sekaligus. EMPAT! Paralel, dan kesemuanya bergerak serentak seketika.

Kita memang tidak pernah melibatkan “aku” dalam setiap proses. Begitu juga dengan cerita dari kota terindah itu. Padahal sesungguhnya ada seekor kuda pacuan ke empat yang ikut melaju kencang dalam sirkuit waktu dan nasib bersamaan dengan ketiga pria di kafe itu. Dan kuda pacuan ke empat itu adalah aku.

Aku yang berdiri jauh dari ketiga pria itu. Memandang dari luar kafe, di bawah sebatang pohon pinus. Kemeja lengan pendek berwarna putih, celana panjang berwarna putih, sepatu berwarna putih lengkap dengan kaos kaki putihnya. Di tanganku tergenggam erat sekuntum bunga: bunga bakung putih bersih.

Tepat ketika jam besar itu berdentang sebelas kali, burung-burung merpati sekali lagi kaget terbang kesanakemari. Dan saat itulah, ketika kalian menyaksikan tiga putaran nasib yang luar biasa itu dalam satu hentakan. Anak panahku juga ikut melesat bersamaan. Paralel, bergerak serentak. Tiga nasib pria yang sedang duduk pura-pura itu dan nasib diriku yang berdiri di seberang mereka.

Bersamaan dengan waktu saat ketiga pria itu beranjak mendekati gadis cantik berambut pirang itu. Dengan segala kepengecutan aku justru melangkahkan kaki menjauhi kafe itu. Berpikir picik, takkan mungkin mampu bersaing dengan mereka. Kehidupan gadis itu takkan pernah menjadi milikku. Aku takkan pernah berani, meski sekadar menyapanya sambil lalu, apalagi mengutarakan berjuta gejolak di jantungku. Ia terlalu cantik, terlalu indah, sedangkan aku siapa?

Hari-hari berikut kehidupanku, hanya aku yang tahu persis seperti apa. Yang pasti dua puluh tahun kemudian ketika putaran nasib itu kembali mencapai siklusnya di kota ini, aku bersama dengan ketiga pria itu berada kembali di satu pagi yang cerah musim gugur di kafe taman kota dengan nasibnya masing-masing.

Aku berdiri di bawah pohon pinus itu yang hingga hari ini tak sesenti pun meninggi. Memandang dari luar kafe. Kemeja lengan pendek berwarna putih, celana panjang berwarna putih, sepatu berwarna putih lengkap dengan kaos kaki putihnya. Ditanganku tergenggam erat sekuntum bunga: bunga bakung putih bersih. Dan tahukah kalian, itulah yang kulakukan setiappagi setiap-hari, selama dua puluh tahun hingga hari ini. Tak kurang satu hari pun, tak terlambat satu detik pun.

Apakah nasibku lebih baik dibandingkan kegilaan mereka? Mungkin kalian bisa membantu dengan menilainya berdasarkan ukuran relativitas nasib yang telah kalian sepakati selama ini.

***



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment